Guyv7L2vSNhTu9NNIC4AGodmAsDGZpqzql8qRx1N
Bookmark

Kritik [Kehadiran] Ensiklopedi Ali Ahmad Salous: Strategi Merukunkan Syiah dan Sunni

Prolog

Artikel ini dipresentasikan dalam acara Bedah Buku kerjasama Al-Mizan Study Club dengan Kemass dan perpustakaan Abdus shamad al-Palimbani, Selasa, 11 September 2012 dengan judul "Kritik [Kehadiran] Ensiklopedi Ali Ahmad Salous: Strategi Merukunkan Syiah dan Sunni".

Tragedi sejarah keberagamaan dalam Islam yang tragis itu terulang lagi akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia, di mana banyak orang tertindas karena mencoba taat. Yang lebih memprihatinkan adalah, bahwa dalam lelaku keberagamaan itu nadir kesadaran muslim dalam beragama tak lagi berfungsi dalam menentukan baik dan buruk. Ia digantikan logika budaya yang notabene, setidaknya seperti yang bertahan di Indonesia saat ini, adalah kumpulan cara pandang dan pikir yang diwarisi turun-temurun guna menjaga keseimbangan pola pandang dan pikir umat Islam lantaran banyak sekali gejala yang dianggap berpotensi merong-rong.

Ali Ahmad Salous, Cara Merukunkan Syiah dan Sunni, Syiah dan Sunni, Syiah, Sunni,

Di hadapkan realita semacam itu, penyerangan Sunni atas Syiah seperti yang terjadi di Madura, pembantaian Sunni oleh Syiah seperti yang terjadi di Iran, pengklaiman diri, bahkan kelompok, sebagai orang yang paling benar dalam menjalankan ajaran Islam, ada pertanyaan yang mengusik pedalaman saya; “kalau memang benar Tuhan adalah maha Pemberi petunjuk, mengapa terjadi hal semacam itu? Mungkinkah maha Pemberi petunjuk hanyalah sifat Tuhan, bukan fiil-Nya? Kalaulah itu sifat sekaligus fiil-Nya, mungkinkah Tuhan sengaja memfokuskan diri hanya pada aliran tertentu dalam Islam, taruh saja hanya pada Sunni, atau hanya pada Syiah, atau yang lain, setelah sebelumnya hanya memfokuskan diri hanya pada pemeluk Islam, karena sebelumnya ada anggapan, bahkan klaim, bahwa agama yang benar hanyalah Islam?

Saya masih ingat betul, sekitar 8 bulan yang lalu, terbesit dalam benak ini keinginan mengetahui perbedaan disiplin ilmu-ilmu Syiah dan Sunni, untuk kemudian dijadikan bahan analisa tentang apa sebenarnya yang menjadi perbedaan antara keduanya, dan, tentunya, juga sebagai landasan mendekatkan Syiah dan Sunni. Singkat cerita saya menemukan ensiklopedi Ali Ahmad Salous yang bertajuk Ma’a al-Itsnâ ‘Asyariyyah fî al-Ushûl wa al-Furû’; Dirâsât Muqâranah fî al-‘Aqâ’id wa al-Tafsîr wa al-Hadîts wa al-Fîqh wa Ushûlihi. Namun akhirnya keinginan itu kandas. Ensiklopedi itu memang memetakan dan membandingkan disiplin ilmu-ilmu Syiah dan Sunni, tapi ensiklopedi itu sengaja dihadirkan untuk membendung laju proyek mendekatkan aliran-aliran dalam Islam, karena ia sendiri, sebagai orang sunni tulen, tak segan-segan mengakatan bahwa akidah Syiah adalah batil, bahkan ia menampiknya.[1] 

Makalah ini hendak membincang kehadiran ensiklopedi Ali Ahmad Salous dan tujuan kehadirannya. Makalah ini penulis bagi menjadi beberapa sub judul; sub judul pertama penulis hendak memaparkan biografi, pengembaraan intelektual dan karya-karya Ali Ahmad Salous serta pandangan kontemporer tentangnya. Sub judul kedua penulis hendak sedikit memamparkan hiruk-pikuk proyek mendekatkan aliran-aliran dalam Islam yang ingin dibendung oleh Ali Ahmad Salus dengan ensiklopedinya itu. Sub judul ketiga penulis hendak memotret isi ensiklopedi yang  4 jilid dengan jumlah 1199 halaman itu. Sub judul keempat penulis membincang tentang konsep dan keniscayaan kerukunan Syiah dan Sunni

Ali Ahmad Salous; Biografi, Pengembaraan Intelektual, Karya-Karya dan Pandangan Kontemporer

Tak banyak sumber yang membicarakan tentang biografinya, kecuali situs resmi pribadinya yang saya temukan: www.alisalous.com. Dia, Ali Salous, lahir di Dimyat Mesir pada tahun 1934 M.. Sejak kecil dia tinggal di sana sampai lulus dari jenjang pendidikan SMA. Setelah itu dia ke Kairo mengambil kuliah S1 di Darul Ulum dan meraih gelar Lisence pada tahun 1957 M. Pada tahun 1969 dia meraih gelar Diploma, dan di tahun yang sama dia meraih gelar MA. dengan judul tesis Fiqhu al-Syî’ah al-Imâmiyyah wa Mawâdli’u al-Khilâf baynahu wa bayna al-Madzâhib al-Arba’ah. Dan, dengan judul desertasi Atsaru al-Imâmah fî al-Fiqh al-Ja’fari wa Ushûlihi pada tahun 1975 M. dia meraih gelar Doktor di universitas yang sama.[2]

Ada yang menarik di tengah-tengah pengembaraan inteektualnya. Sebagai salah satu tokoh Sunni tulen[3]  ternyata banyak karyanya yang berbicara tentang Syiah, baik yang sengaja membicarakan tentang internal ilmu Syiah, seperti tesis dan desertasinya itu, atau bahkan mengkritik karya-karya Syiah, seperti al-Murâj’ât al-Muftarâh ‘alâ Syaikhi al-Azhar al-Basyari yang membantah buku al-Murâja’ât karya Abdul Husain Syarfuddin al-Mausui. Penyebabnya tak lain lantaran sewaktu masih menempuh jenjang S2 salah satu dosennya, yang sering tukar pandang dan pikiran dengannya, merupakan salah satu pioner proyek mendekatkan aliran-aliran dalam Islam, Mohammad al-Madani. Hal itulah yang kemudian memunculkan tesisnya dengan judul Fiqhu al-Syî’ah al-Imâmiyyah wa Mawâdli’u al-Khilâf baynahu wa bayna al-Madzâhib al-Arba’ah. Namun ketika memulai pembahasan, dengan merujuk buku-buku asli Syiah, dia merasa bahwa apa yang selama ini dia dengar dari dosennya, Mohammad al-Madani, sama sekali tak menemukan pembenarnya—entah apa itu saya kurang tahu. Ali Salous menemukan konsep imâmah dalam teologi Syiah menjadi pokok dasar-dasar agama dan memberi pengaruh besar terhadap sumber-sumber syariatnya. Hal inilah yang kemudian membuatnya tertarik memberi judul desertasinya dengan judul Fiqhu al-Syî’ah al-Imâmiyyah wa Mawâdli’u al-Khilâf baynahu wa bayna al-Madzâhib al-Arba’ah.[4] 

Tercatat, sesuai yang tertera dalam situs pribadinya yang saya lihat pada tanggal 07 September 2010, ada 77 karya yang sudah dihasilkannya, yang meliputi;

  1. Aliran-aliran dalam Islam, seperti; al-Imâmah ‘inda al-Jumhûr wa al-Firaq al-Mukhtalifah, Hadîtsu al-Tsaqalain wa Fiqhuhu, tesis dan desertasinya, juga ensiklopedinya yang kita bincangkan, dll..
  2. Muamalat kontemporer, seperti; Hukmu A’mâli al-Bunûk fî al-Fiqh al-Islâmi, Mu’âmalât al-Bunûk fî Dlau’i al-Islâm, al-Mu’âmalât al-Mâliyyah al-Mu’âshirah fî Mîzâni al-Fiqh al-Islâmi, dll..
  3. Umum; Qishatu al-Hujûm ‘alâ al-Sunnah min al-Thâifah al-Dlâlah fî al-Qurni al-Tsânî ilâ al-Thâ’inîn fî ‘Ashrinâ dan Zawâju al-‘Aqârib bayna al-‘Ilmi wa al-Dîn.
  4. Pembahasan-pembahasan yang diterbitkan di fakultas syari’ah universitas Qatar; al-Kafâlah bayna al-Fiqh wa al-Qânûn, al-Kafâlah fi al-Qur’ân wa al-Sunnah wa al-Tathbîqât al-Mu’âshirah, Atsaru Taghayyuri al-Nuqûd fî al-Huqûq wa al-Iltizâmât al-Âjilah, dll..
  5. Pembahasan-pembahasan yang diterbitkan di majalah Markaz al-Sirah wa al-Sunnah; al-Sunnah Bayânullahi ‘alâ Lisâni Rasûlihi, Ahâdîtdu al-Syurûth fî al-Bay’i wa Fiqhuhâ, Hadîtsu al-Tsaqalayni wa Fiqhuhu, dll.
  6. Pembahasan-pembahasan yang dipresentasikan di Muktamar Islam di Jeddah; Tandzîmu al-Nasl wa Tahdîduhu, al-Aswâq al-Mâliyyah, al-Ishthinâ’, dll..
  7. Pembahasan-pembahasan yang dipresentasikan di Mugamma’ Fikih: al-Mudlârabah wa Mu’âmalât al-Bunûk, al-Tawaruq al-Mashrafi, Faskhu al-Dîn bi al-Dîn wa al-Tathbîqât al-Mu’âshirah, dll..
  8. Pembahasan-pembahasan yang dipresentasikan di Muktamar umum; al-Iqtishâd al-Islâmi wa Dauru la-Fiqh fî Ta’shîlihi, al-Siyâsah al-Mâliyyah, al-Siyâsah al-Naqdiyyah, dll..
  9. Kajian, makalah dan komentar; Fawâ’idu al-Qurûdl wa al-Bunûk, Maqâlât ‘Adîdah ‘an a-Iqtishâd al-Islâmi wa al-Mu’âmalât al-Mâliyyah al-Mu’âshirah, Dirâsât ‘an Sab’ati Mabâhits tahta ‘Unwân “Bayânu Fadlîlati Mufti Mashr fî Mîzâni al-Fiqh al-Islâmi”, dll..[5] 

Tak ayal, sanjungan-sanjungan kontemporerpun disematkan kepadanya, seperti yang disampaikah Dr. Mazin Mubarak, ketika selesai membaca ensiklopedinya itu, meski ada beberapa pihak, yang berbeda cara dalam beragama, mengklaim bahwa Ali Ahmad Salous kurang obyektif dalam menyusun ensiklopedinya itu—perlu saya tegaskan bahwa adanya stigma miring tentang Ali Ahmad Salous hanya tentang perbedaan cara dalam beragama.[6]  Dan, sekarang Ali Ahmad Salous menjadi salah satu dosen pengajar di universitas Qatar.

Ensiklopedi Ali Ahmad Salous; Hiruk-Pikuk yang Trasendental

Sedikit penulis singgung di atas bahwa ensiklopedi Ali Salous ini sengaja dihadirkan untuk membendung laju proyek mendekatkan aliran-aliran dalam Islam. Dr. Abdul Aziz Othman Altwaijri, pimpinan umum al-Munadhamah al-Islamiyyah li al-Tarbiyyah wa al-Ulum wa al-Tsaqafah Teheran, mengatakan bahwa proyek ini bukan hendak menyatukan sikap-sikap atau pola pandang aliran-aliran dalam Islam pada satu titik. Proyek ini tujuannya adalah mempersempit ruang perbedaan yang selama ini “melaut” dengan berlandaskan pada al-Qura’an dan hadits valid.[7] 

Sebelum beranjak untuk mengenali pengertian lebih lanjut tentang proyek ini, dengan mencermati perkataan Dr. Abdul Aziz Othman Altwaijri itu, maka akan kita temukan ketidakmungkinan menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai titik alas kedekatan aliran-aliran dalam Islam, khususnya Syiah dan Sunni, jika melihat tradisi ilmu masing-masing aliran. Saya katakan demikian, sebab dalam kaitannya dengan pemahan terhadap al-Qur’an dan hadits valid, masing-masing dari Syiah dan Sunni mempunyai standar-standar yang mereka buat dan cenderung saling memunggungi. Standar-standar keabsahan pemahaman itu dibuat berdasarkan konsep teologi yang mereka yakini kebenarannya, sehingga kapan kali pemahaman itu sesuai dengan kosep teologinya maka hasil pemahaman itu diterima dan dikukuhkan.[8] 

Namun kalau kita potret perkembangan ilmu hadits kontemporer ini, baik di kubu aliran Syiah ataupun Sunni, maka akan kita temukan mulai adanya kesamaan standarisasi validitas hadits; keduanya menggunakan al-Qur’an dan nalar sebagai standar validitasnya. Fakta kesamaan ini bisa kita temukan pada buku yang berjudul Tahdzîbu Ahâdîtsi al-Syî’ah karya Ahmad Al-Qabanji yang Syiah,[9]  dan buku yang berjudul al-Fawâid al-Maqshûdah fî Bayâni al-Ahâdîts al-Syâdzah al-Mardûdah karya Abdullah bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumari al-Hasani yang Sunni.[10] 

Dan, dengan demikian, dari sini kita bisa mengatakan bahwa apa yang dikatakan Dr. Abdul Aziz Othman Altwaijri di atas menemukan titik keniscayaannya.

Tapi lepas dari semua itu, proyek mendekatkan aliran-aliran dalam Islam sejatinya mempunyai pengertian sebagai sebuah usaha dalam mengenali perbedaan-perbedaan dan kesamaan-kesaman yang ada dalam bidang akidah dan fikih, dari segi yang parsial dan partikular, untuk kemudian dijadikan landasan kedekatan (kerukunan) dari internal Islam itu sendiri. Dengan demikian, proyek ini tak bermaksud menghilangkan wujud dan peran aliran-aliran dalam Islam, atau meniadakan perbedaan cara dalam memahami wahyu untuk kemudian dipraktikkan dalam bentuk prilaku sehari-hari, tapi lebih pada bagaimana aliran-aliran dalam Islam ini bisa mengerti bahwa sejak dari nadir agamanya memang ada kesamaan, kesamaan yang sejatinya menuntut agar semua orang yang telah menjatuhkan pilihannya kepada Islam bisa hidup rukun dan berdampingan, tak hanya dalam kehidupan sosial, tapi juga dalam kehidupan beragama.[11] 

Terkait alasan tentang adanya kesamaan nadir agama, alasan ini dinilai Abdul Karim Soroush memang sangat tepat. Hanya saja, baginya, kesamaan nadir agama itu telah banyak diintervensi aliran-aliran dalam Islam. Akibatnya hal ini sangat sulit dianggap sebagai sesuatu yang lumrah sehingga perbedaan dengan beragam konsekuensinya yang selama ini bisa dimaafkan begitu saja. Untuk proyek mendekatkan Islam ia berpendapat bahwa harus ada pemahaman terhadapa fenomena dari dua sisi; 1) dari dalam agama atau ilmu-ilmu agama. 2) dari luar agama atau ilmu-ilmu yang mengitari.[12] 

Bagi saya, menjelaskan tentang adanya kesamaan nadir agama agar kemudian diterima oleh masyarakat tak semudah menemukan kesamaan nadir itu, juga apa yang dikatakan Soroush itu. Ada problem yang paling mendasar—dan saya kira ini sudah menjadi fakta—bahwa keberpihakan seseorang pada suatu hal kerap menuntutnya agar hanya menerima apa-apa yang telah disediakan di dalamnya dan menampik yang lain. Tragisnya lagi bahwa dalam pola keberpihakan dalam beragama kerap terjadi semacam privilese, yang mana keberpihakan tersebut kerap memunculkan anggapan dan menuntut adanya pengakuaan dari yang lain bahwa merekalah yang paling benar, sehingga stigma buruk terhadap yang lain dan tindakan anarkis terhadap yang lain dianggap sebagai sesuatu yang disahkan oleh agama dan direstui oleh Tuhan.

Sebenarnya proyek ini mengaca pada sikap-sikap ulama pendahulu dalam menyikapi dan menghargai sebuah perbedaan, bahkan kebesaran jiwa ketika harus memakai konsep kebenaran aliran lain. Hal itu bisa ditemukan bagaimana imam Malik menolak pendapat khalifah al-Masur yang menawarkan agar kitab al-Muwattha’ dipatenkan menjadi satu-satunya kitab yang diajarkan sehingga bisa mempersatukan umat dalam satu pendapat. Namun pendapat itu ditolak imam Malik, karena baginya tindakan tersebut berpotensi menjadi sumber fitnah. Pun demikian cara yang gunakan al-Syrif al-Murtadlah dalam tafsirnya, Haqâ’iqu al-Ta’wîl, yang banyak menukil pendapat-pendapat ulamah Sunni sehingga tafsirnya itu sulit dibedakan apakah masuk dalam kategori tafsir Sunni atau Syiah.[13] 

Dalam usaha mensukseskan proyek ini setidaknya ada lima hal yang harus dimaksimalkan; 1) diskusi-diskusi tentang kerukunan dalam internal Islam harus digiatkan. 2) lembaga-lembaga pendidikan harus menambah materi tentang kerukunan tersebut serta urgensi dan faktanya. 3) media-media massa harus bisa lebih mewartakan tentang proyek ini. 4) pihak penerbitan harus bisa lebih menerbitkan buku-buku yang ada kaitannya dengan suksesi proyek ini dan mengcut muatan-muatan buku-buku yang bisa memicu pertikaian, seperti pengkafiran Sahabat. 5) stabilitas masyarakat muslim menjadi prioritas.[14] 

Bagi saya kelima hal tersbut memang harus dimaksimalkan. Tapi saya merasa kurang nyaman tatkala ada kewajiban mengcut muatan-muatan buku-buku yang bisa memicu pertikaian, seperti pengkafiran terhadap Sahabat, seperti yang tertera di point empat. Demikian itu karena tindakan terebut sangat berpotensi memunculkan pengkhianatan intelektual. Imbasnya, pada gilirannya nanti, akan ada sejarah kontrsuksi ilmu-ilmu Islam yang hilang, tidak diketahui generasi selanjutnya. Terlebih bahwa tindakan semacam itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap penulisnya. Hemat saya, yang harus lebih ditekankan adalah membentuk pribadi muslim yang mempunyai pola keberpihakan yang arif, yang bisa menghargai pola keberpihakan lain tanpa harus melakukan pengkhianatan intelektual semacam itu.

Singkatnya, sejatinya proyek ini menuntut umat Islam agar tidak mengkafirkan aliran-aliran yang berlainan cara dalam memandang Islam, terutama yang lahir akibat perseteruan dalam hal politik di masa lampau. Dengan demikian, secara tidak langsung, bagi saya, proyek ini merupakan rangkaian-rangkaian usaha para pemikir kontemporer dalam mengkonstruk ilmu kalam baru. Saya katakan demikian sebab proyek ini lebih ingin membaurkan diri ke dalam permasalahan-permasalahan sosial untuk kemudian memberikan solusi untuk permasalahan tersebut. Sedangkan alasan paling utama dari adanya konstruksi ilmu kalam baru adalah, bahwa ilmu kalam selama ini belum bisa lumer dalam menyelesaikan problem-problem sosial, disamping bahwa tujuan lain dari ilmu kalam baru adalah memberikan pengertian baru tentang hubungan manusia dengan Tuhan.[15] 

Dilihat dari sejarah kemunculan pergerakan dari proyek ini ada ketidaksamaan dalam hal waktu. Meski yang lebih nampak dipermukaan adalah geliat orang-orang Syiah Iran dalam mensikseskan proyek ini, tapi sejatinya proyek ini terlebih dahulu dipelopori, secara struktural, oleh orang-orang Mesir. Dr. Ahmad bin Abdurrahman dalam bukunya al-Syî’ah wa al-Sunnah; Dirâsât Muqâranah, memaparkan bahwa ada perbedaan titik mula munculnya gerakan mendekatkan (mengakurkan) aliran-aliran dalam Islam ini, khususnya Syiah dan Sunni. Dalam bukunya itu, dengan mengutip keterangan dari Fahmi Huwaidi dalam bukunya Irân min al-Dâkhil, dia mengatakan bahwa sejarawan proyek ini mencatat bahwa, pada tahun 1948 M. di Mesir proyek ini dipelopori oleh Abdul Majid Salim yang menjadi Syaikhul Azhar pada waktu itu. Dalam proses berjalannya proyek itu di Mesir, dan pada waktu itu juga, tercatat setidaknya ada beberapa tokoh tekemuka yang melibatkan diri di dalamnya, seperti: syaikh Mahmud Syaltut, al-Allamah Muhammad Taqiyyuddin al-Qummi yang merupakan satu-satunya orang Syiah yang terlibat di dalamnya, Amin Husaini, Hasan Albana, Shalih Harb, Muhammad Ali Alubah Basyah. Dan, dari pergerakan mereka telah terbit majalah Risâlatu al-Islâm sampai pada tahun 1964.[16] 

Sedangkan di Iran, proyek mendekatkan (mengakurkan) aliran-aliran dalam Islam dimulai sejak lebih dari separuh abad yang lalu. Pergerakan dari proyek ini di Iran dimulai lantaran adanya kekhawatiran keterpecahan umat Islam akibat serangan dari musuh-musuhnya yang menyerang dari sektor perpolitikannya. Inilah, barangkali, yang kemudian menjadi alasan Ayatullah al-Khumaini, pioner proyek ini di Iran sekarang, mengatakan bahwa mendekatkan (mengakurkan, menyatukan umat Islam) menjadi sebuah kewajiban dalam pandang politik sebelum menjadi kewajiban dalam pandang agama.[17] 

Namun terlepas dari awal mula adanya pergerakan dari proyek ini secara struktural, baik di Mesir ataupun di Iran, aklamasi akademis mengatakan bahwa proyek ini telah digagas sebelumnya oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh pada paruh abad 19 M.

Ensiklopedi Ali Ahmad Salous; Sekilas Tentang Isi

Di atas telah disinggung bahwa ensiklopedi Ali Ahmad Salous yang berjumlah 1199 halaman ini dihadirkan untuk membendung proyek mendekatkan aliran-aliran dalam Islam, yang mana proyek itu sedikit telah kita bahas di sub judul sebelumnya. Ensiklopedi yang menyimpan ambisi itu terbagi menjadi 4 jilid dan bisa kita potret sebagai berikut:

Jilid I

Pada jilid I dia membandingkan teologi Sunni dan Syiah. Jilid I dari ensiklopedi ini mencakup lima pokok pembahasan:

1. Konsep kepemimpinan (imâmah) menurut  Ahli Sunnah dan aliran-aliran lain.

Pada pokok bahasan pertama ini dia memaparkan bahwa sejatinya semua umat Islam sepeninggal Nabi Saw. sepakat bahwa harus ada pemimpin pengganti Beliau Saw., hanya saja yang menjadi perbedaan pendapat adalah tentang siapa orang yang pantas menggantikan Beliau Saw.. Namun akhirnya semua sepakat membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Beliau.

Bagi Ahli Sunnah, konsep pemilihan khalifah pemimpin umat Islam adalah dengan pemilihan. Beda dengan Khawarij, bagi mereka, selain harus melalui pemilihan umum, seorang khalifah ketika sudah terpilih maka ia tidak boleh mengundurkan diri dan adil, jika tidak maka ia harus dibunuh dan diasingkan. Bagi mereka seorng khalifah tidak harus dari golonga Quraisy, seorang budakpun bisa menjadi khalifa asal memenuhi sayarat-syarat yang telah ditetapkan.

Bagi Syiah Zaidiyah, pengikut Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, seorang khalifah harus dari keturunan Fatimah Ra.. Dalam internal Syiah Zaidiyah ada perbedaan pendapat: ada diantara mereka yang sepakat dengan apa yang ditetapkan oleh Imam Zaid, ada juga yang tidak.

Bagi Syiah Ismailiyah, kepemimpinan merupakan ketentuang ilahi yang ditetapkan oleh Allah Swt. sebagai mana kenabian. Bagi mereka, setelah kepemipinan ditetapkan Allah Swt. kepada Ali bin Abi Thalib, maka kepemimpinan itu jatu keketurunannya, sebagaimana yang telah ditetapkan Allah Swt.

Bagi Syiah Ja’fariyyah, konsep kepemimpinan umat Islam ini seperti halnya kenabian, hanya saja seorang khalifah tidak mendapatkan wahyu. Karenanya mereka meyakini bahwa kepemimpinan ini merupakan salah satu dari pokok-pokok agama, seorang pemimpin seperti seorang Nabi dalam hal kemakshuman, sifat dan pengetahuannnya, setiap masa pasti ada seorang khalifah yang memberi petunjuk, seorag khlaifah msuk dalam kategori Ulul Amri yang wajib ditaati secara mutlak, selagi konsep kepeminmpinan itu seperti konsep kenabian maka pengankatannya harus berlandaskan nash, pemimpin yang ditetpakan Nabi Muhammad Saw. jumlahnya ada 12: Ali bin Abi Thalib, Abu Muhammad Hasan bin Ali, Abu Abdillah Husain bin Ali, Abu Muhammad Ali Bin Husain, Abu Ja’far bin Muhammad, Abu Ibrahim Musa bin Ja’far, Abu Hasan Ali bin Musa, Abu Ja’far Muhammad bin Ali, Abu Hasan Ali bin Muhammad, Abu Muhammad Hasan bin Ali, Abu Qasim Muhammad, bin Hasan.

2. Dalil-dalil al-Qur’an tentang konsep kepemimpinan (imâmah).

Pada pokok pembahasan kedua ini Ali Ahmad Salous sebenarnya hendak mengukukuhkan pembahasan sebelumnya bahwa konsep Syiah tentang kepeminpinan umat Islam sama sekali tidak berdasarkan al-Qur’an, bahkan maksud-maksud ayat al-Qur’an yang berbicara prihal kepemimpinan telah diubah oleh Syiah. Berbeda dengan sunni. Bagi Ahmad Ali Salous, konsep Sunni prihal kepemimpinan umat Islam sepeniggal Nabi Saw. lebih berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an. Bahkan dia mengatakan bahwa Syiah memperlebar maksud ayata-ayat al-Qur’an yang sejatinya hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu menjadi meluas sampai pada penyakinan bahwa maksud ayat-ayat tersebut juga mencakup imam-imam mereka dan Ahli Bait secara keseluruhan.

3. Kepemimpinan (imâmah) dalam pandang sunnah.

Pokok pembahasan pada poin ketiga ini difokuskan pada pola pemahaman Syiah dan Sunni tentang konsep kepemimpinan dari hadits Nabi Saw. pada peristiwa Ghadir Khum. Terlepas dari kekontroversialnya terkait data yang ia ajukan, sebenarnya ia hendak menegaskan bahwa selain konsep Syiah terkait kepemimpinan yang tidak beralaskan al-Qur’an, konsep tersebut juga tidak beralaskan hadits. Baginya, semua hadits yang dipakai Syiah untuk meneguhkan konsep kepemimpinan mata rantainya tidak bisa diterima, karena hadits yang riwayatkan Athiah bin Saad statusnya lemah, bahkan menurut Imam Bukhari masuk dalam kategori hadits munkar.

4. Bukti penggubahan dan pemalsuan al-Qur’an oleh Syiah.

Pada poin ini Ali Ahmad Salous membongkar bukti-bukti penggubahan dan pemalsuan al-Qur’an oleh Syiah. Dalam pembahasannya ada empat buku yang digunakan sebagai bahan pembahasan; buku Minhâju al-Karâmah fî Ma’rifati al-Imâmah karya Ibnu Muthahhir al-Halli yang dikritik Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam bukunya Minhâju al-Sunnah al-Nabawiyyah, dan buku al-Murâja’ât karya Abdul Husain Syarfuddin al-Mausui yang dikritik Ali Ahmad Salous sendiri dalam bukunya al-Murâja’ât al-Muftarâh ‘alâ Syaikhi al-Azhar al-Basyari.

5. Pondasi-pondasi lain akidah Syiah.

Pada poin terakhir ini Ali Ahmad Salous membincang dan mengukukuhkan kebatilan pondasi-pondasi lain akidah Syiah, yang meliputi; al-‘Ishmah, al-Badâ’, al-Raj’ah dan al-Taqiyyah.[18] 

Jilid II

Pada jilid kedua Ali Ahmad Salous membandingkan tafsir Sunni dan Syiah. Dengan demikian pokok pembahasan pada jilid II ini dibagi menjadi dua bagian: bagian pertama tafsir dalam tradisi Sunni dan bagian kedua tafsir dalam tradisi Syiah.

Pembahasan tentang tafsir dalam tradisi Sunni ini ada 8 pokok pembahasan:

  1. Ali Ahmad Salous membahas pengetian dari tafsir dan takwil
  2. Peneguhan bahwa hadits-hadits Nabi Saw. yang statusnya terpeta-petakan menjadi beberapa hal, seperti shahih dan hasan ini masuk dalam kategori cara Belia Saw. dalam menafsirkan al-Qur’an.
  3. Ali Ahmad Salous membahas tentang tafsir Sahabat. Baginya, tafsir shabat ini msuk dalam kategori marfu’ dalam derajatya. Berbeda dengan Syiah, bagi mereka Sahabat yang masuk dalam kategori pemimpin, Ali bin Abi Thalib, Husain bin Ali dan Hasan bin Ali, derajat penafsirannya sama dengan derajat penafsiran Nabi Saw., dan tentunya pendapat inio sangat pententangan dengan pendapat mayoritas.
  4. Pada pokok pembahasa keempat ini Ali ahmad salous berbicara tentang tafsir Tabi’in. Baginya, era Tabi’in ini lebih memebutuhkan pola keberagaman penafsiran ketimbang era sahabat. Selain itu dia juga berbicara tentang kodifikasi tafsir di era Tabi’in.
  5. Pokok pembahasan kelima ini diisi Ali Ahmad Salous dengan penjelasan tentang metode penafsiran paling baik di era Tabi’in; metode bil al-Ma’tsur! Selian itu dia juga menyinggung munculnya metode penafsiran dengan menggunakan cerita-cerita isrâiliyyah dan nalar
  6. Pada pokok pembahsan keenam ini Ali Ahmad Salous berbicara tentang metode penafsiran yang ada pada abad kedua Hijriah. Pada pokok pembahasan ini setidaknya ada tiga buku tafsir yang diangkat; 1) tafsir Muqatil bin Sulaiman yang notabene pengearangnya masuk dalam kategori orang yang majrûh. 2) tafsir Yahya bin Salam yang dianggap sebagai tafsir yang mempertemukan generasi abad I dan III. 3) tafsir Ma’aniyu al-Qur’an karya al-Fara’ yang menjadi samper tafsir ri al-Ra’yi.
  7. Pembahasan pada poin VII difokuskan pada pembahasan tafsir Thabari yang banyak mendapat sanjungan sebagai prestasi yang sangat gemilang dalam hal tafsir. Hal ini sangat lumrah, sebab pada abad III H. banyak sekali prestasi-prestasi yang diraih oleh ulama-ulama hadits pada waktu itu.
  8. Pembahasan pada poin VIII ini tentang tafsir bil ma’tsur setelah Thabari. Baginya, tafsir-tafsir bil ma’tsur setelah tabari prestasinya tak bisa mengungguli tafsir Thabari. Hal ini dikarenakan yang menjadi rujukan penafsiran itu ada dua macam; 1) buku-buku hadits dan atsâr. 2) tafsir Thabari itu sendiri.

Adapun pokok pembahasan tafsir dalam tradisi Syiah diklasifikasikan Ali Ahmad Salous menjadi tujuh bagian:

  1. Bagian pertama membincang bagaimana dalam tradisi Syiah al-Qur’an yang asli tidak begitu difungsikan. Ia digantikan dengan para Imam. Hal semacam itu diistilahkan Ali Ahmad Salous menjai al-Qurân al-Shâmit wa al-Qur’ân al-Nâthiq; yang dimaksudkan dengan al-Qur’an yang diam di sini adalah al-Qur’an yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw., sedangkan al-Qur’an yang berbicara adalah para imam
  2. Bagian kedua ini membincang bagaimana dalam tradisi Syiah terjadi perbedaan pemahaman tentang ayat-ayat yang dhahir dan yang batin. Ada perbedaan pendapat dikalangan mereka tentang keabsahan ayat-ayat yang dhahir sebagai sebuah landasan hukum. Yang perlu diketahui di sini bahwa pembahasan tentang ayat-ayat yang dhahir ini adalah sebagai respon dari mayoritas Syiah Ja’fariyyah terhadap golongan ikhbâriyyîn yang mengingkari keabasahan ayat-ayat dhahir sebagai landasan suatu hukum.
  3. Pembahasan pada bagian ketiga ini difokuskan pada fenomena penggubahan al-qur’an oleh dedengkot-dedengkot Syiah di masa lamapu, seperti al-Qummi dalam tafsirnya, al-Kulaini dalam al-Kâfî-nya, dan al-Iyasyi dalam tafsirnya.
  4. Pembahasan pada bagian ini adalah tentang buku-buku  tafsir Syiah yang muncul pada abad III H., yang  menurut mayoritas Ahli Sunna, dan Ali Ahmad Salous, tentunya, sangat bermasalah. Dalam pembahasanya ada tiga buku yang diangkat; 1) buku tafsirnya Imam Hasan al-Askari. Buku ini dinilai sangat sesat menyesatkan, bahkan di dalamnya banyak terdapat khurafat. Pengarang buku ini banyak mengkafirkan para Sahabat, khusuhnya Abu Bakar dan Umar bin Khatab. 2) buku tafsirnya al-Qummi. Sebagaimana yang saya singgung di atas, buku ini merupakan bentuk penggubahan al-Qur’an oleh Syiah. 3) buku tafsirnya al-Iyasyi yang sama dengan tafsirnya Imam Hasan al-Askari dan al-Qummi dari segi posis, metode dan tujuannya.
  5. Pembahasan pada bagian ini mengenai dua tokok Syiah yag merupakan tokoh-tokoh yang moderat tapi nisbi, al-Thusi dan al-Tabrasi berikut masing-masing tafsirnya. Hanya saja, dalam penafsirannya mereka masih banyak terpengaruh dengan konsep imâmah dalam dogma teologi Syiah. Dan, dalam pembahasan ini, al-Thusi dinilai lebih moderat dan tidak terlalu sewenang-wenang dlam menafsirkan al-Qur’an ketimbang al-Thabrasi.
  6. Bagian keenam ini merupakan pembahasan yang menguak tentang metode-metode  penafsiran setelah al-Thusi dan al-Thabrasi. Metode-metode penafsiran itupun tak jauh dari metode-metode penafsiran sebelumnya; ada yang sewenag-wenang dan ada yang moderat.
  7. Pada bagian terakhir ini Ali Ahmad Salous menyodorkan penilaian umum tentang karya-karya Syiah dalam bidang tafsir. Dalam penilaiannya itu ia menjadikan buku al-Dzarî’ah ilâ Tashânîfi al-Syî’ah karya Aqabarzak al-Tehrani sebagai bahan acuan.[19] 

Sedangkan jilid ketiga dari ensiklopedi Ali Ahmad Salous ini adalah khusus membahas tentang hadits dan ilmu hadits Sunni dan Syiah. Seperti dua jilid sebelumnya, jilid ketiga inipun dibagi menjadi dua; bagian pertama membahas hadits dan ilmu hadits dalam tradisi Sunni, dan bagian kedua membahas ilmu hadits dalam tradisi Syiah.

Jilid III

Dalam bagian pertama jilid III ini ada sepuluh pembahasan yang diangkat Ali Ahmad Salous;

  1. Pembahasan pertama ini membicarakan keterkaitan al-Qur’an dan hadits. Dalam pembahasan ini Ali Ahmad Salous hendak mengukuhkan bahwa hadits merupakan penjelas ayat-ayat al-Qur’an yang masih samar, seperti yang dijelaskan beberapa ayat-ayat al-Qur’an
  2. Pembahasan kedua ini Ali Ahmad Salous meneguhkan posisi sunnah sebagai wahyu sama seperti al-Qur’an
  3. Pembahasan ketiga ini menjelaskan kekukuhan para pendahulu pada sunnah sebagai pegangan hidup setelah al-Qur’an
  4. Pembahasan keempat ini menguak bahwa sebenarnya sunnah yang diwarisi secara turun-temurun, sebelum adanya kodifikasi resmi di bawah panduan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sudah terkodifikasi sejak zaman Sahabat.
  5. Pembahasan kelima ini menjelaskan tentang al-Jarhu wa al-Ta’dîlu menurut Syiah. Dalam penjelasannya, setidaknya ada tiga buku otoritatif tentang al-Jarhu wa al-Ta’dîlu dalam tradisi Sunni ini: imam Syafi’i dengan al-Risâlah, imam Muslim dalam mukaddimah Shahîh-nya dan Ibnu Abi Hatim dengan al-Jarhu wa al-Ta’dîl-nya. Namun, sebelum tiga tokoh itu, sejatinya ada benih-benih al-Jarhu wa al-Ta’dîl sudah ada sebelumnya.
  6. Pembahasan keenam ini menguak tentang kelompok-kelompok yang mengingkari sunnah sebagai salah satu landasan hukum pada zaman imam Syafi’i, namun semua imam Syafi’i berhasil memangkas argument-argument mereka dengan di tulisnya bab  jamâ’u al-‘Ilm dalam kitab al-Um
  7. Tidak jauh beda dengan pembahasan keenam. Pada pembahasan ketujuh ini Ali Ahmad Salus mengangkat usaha-usaha kelompok yang mengancam sunnah pada abad III dan IV, seperti al-Askari, al-Qummi, al-Iyasyi dan al-Kulaini
  8. Pada pembahasan ini Ali Ahmad Salous juga menguak kisah tentang kelompok yang mengingkari keabsahan sunnah sebagai salah satu landasan hukum yang terjadi di zaman imam Suyuti. Singkatnya, kejadian mengingkari keabsahan sunnah itu berhasil ditekuk oleh Imam Suyuti dengan bukunyai yang berjudul Miftâhu al-Jannah fî al-Ihtijâj bi al-Sunnah.
  9. Pada pembahasan kesembilan ini Ali Ahmad Salous berbicara tentang “mengkaji” sunnah secara “semena-mena”, seperti golonan orientalis. Bisa dikatakan bagi Ali Ahmad salous menganggap mereka sebagai golongan yang tidak mengetahui sunnah dan sejarahnya tapi mengkaji hadits.
  10. Pada pembahasan terakhir ini Ali Ahmad Salous membersihkan stigma-stigma miring tentang Abu Hurairah yang dilancarkan oleh golongan orientalis, sekuleris, zindiq, dan rafidli

Adapun pembahasan kedua dari jilid III tentang hadits dalam tradisi Syiah ini ada enam pokok pembahasan:

  1. Pembahasan pertama ini adalah tentang kodifikasi hadits dalam tradisi Syiah. Ada yang menarik dalam pembahasan ini di mana ketika setiap Imam mengalami keghaibanpara pengikutnya terpecah menjadi beberapa kelompok dengan imam yang berbeda. Kaitannya dengan kodifikasi hadits, Ali Ahmad Salous mengatakan bahwa setiap kelompok itu berusaha menguatkan apa keyakinannya dengan cara menyadur, bahkan membuat-buat, muatan al-Qur’an dan hadits yang kemudian dikodifikasi. Kejadian semacam itu terjadi sejak keghaiban imam al-Askari yang tidka mempinyai keturunan
  2. Pembahasan keduan ini adalah tentang al-Jarhu wa al-Ta’dîl. Dalam tradi Syiah ini al-Jarhu wa al-Ta’dîl sangat simpel, di mana orang-orang yang majruh adalah mereka yang yang menjadi musuh Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya dan orang-orang yang berbeda pandangan, termasuk Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Ustman bin Affan yang dianggap telah merampas hak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sepeninggal Nabi Saw.. Al-Jarhu wa al-Ta’dîl dalam tradisi Syiah ini terlihan sangat tertutup,
  3. Pembahasan ketiga ini adalah tengang pengertian sunnah dalam tradisi Syiah. Seperti yang telah disinggung di atas bahwa teologi beserta konsep-konsepnya telah banyak meberi pengaruh tehadap keberlajutan Syiah, maka secara otomatis sunnah dalam pengertian syiaha adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan orang maksum. Dalam memaknai sunnah ini ada pelibatan imam-imam mereka. Inilah yang dibahas Ali Ahmad Salous dalam pembahasan ini.
  4. Pada pembahasan keempat ini Ali Ahmad Salous memaparkar kategori-kategori hadits dalam tradisi Syiah yang berjumlah empat yang kesemuanya itu sangat terintervensi oleh dogma-dogma teologinya. Adapun keempat kategori hadits itu adalah, shahîh, hasan, mautsuq dan dla’îf.
  5. Pembahasan pada poin kelima ini Ali Ahmad Salous memaparkan cara Syiah dalam menyikapi perbedaan tentang status hadits. Dalam menyikapi perbedaan itu, status hadits yang dipilih adalah yang berbeda yang kesepakatan mayoritas. Dan, inilah yang lebih menyebabkannya dicap sebagai alirang yang sesat.
  6. Pada pokok pembahsan terakhir ini Ali Ahmad Salous memaparkan empat buku paling otoritatif dalam tradisi Syiah dalam bidan hadits. Keempat buku itu adalah al-Kâfî karya al-Kulaini, Man Lâ Yahdluruhu al-Faqîh karya al-Shuduq, al-Tahdzîb dan al-Ibtishâr karya al-Thusi.; al-Kâfi karya al-Kulaini mencakup permasalahan yang universal dan partikular, sedangkan yang lain hanya mencakup permasalahan yang partikular.

Setelah memaparkan perbandingan hadits dalam tradisi Sunni dan Syiah, jilid III dari buku ini dilengkapi dengan penjelasan tentang fungsi hadits sebagai penjelas al-Qur’an, namun penjelasannya tak jauh beda dengan penjelasan hadis atau sunnah dalam tradisi Sunni.[20] 

Adapun pada jilid keempat, yang terkahir, Ali Ahmad Salous membincang tentang perbedaan ushul fikih dan fikih Sunni dan Syiah. Dalam penjelasannya, di jilid keempat itu, ia lebih memfokuskan pembahasan tentang konsesus (al-Ijmâ’) dan nalar (al-‘Aql) yang menjadi kontruksi ushul fikih Syiah dan fikihnya, konstruksi ushul fikih dan fikih Sunni sedikit disinggung. Adapun kontruksi ushul fikih Syiah dan Sunni yang lain, al-Quran dan hadits, tidak begitu ditekankan pada pembahasan ini, karena sudah dibahas pada pembahasan sebelumnya.

Sebenarnya konsep konsesus versi Syiah dan Sunni pun tak jauh berbeda dengan konsep hadits dan penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an. Konsepsi konsesus dalam tradisi dua sekte itu sanagt terpengaruh oleh konsep-konsep teologi yang dibangun sejak mulanya. Perbedaan yang sangat mendasar dari konsep konsesus kedua aliran itu telihat dari penentuan subyek yang dianggap sah dalam menentukan suatu hukum permasalahan. Bagi Sunni, konsesus merupakan bentuk kesepakatan mujtahid umat Muhammad Saw. pada suatu masa setelah wafatnya Beliau dalam menentukan hukum. Sedangkan menurut Syiah Ja’fariyyah, konsesus adalah kesepakatan orang-orang yang mempunyai kepatuhan terhadap sang Imam dalam menentukan sebuah hukum. Dengan demikian maka konsesus yang notebene adalah salah satu konstruk ushul fikih Syiah derajatnya sama dengan hadits mutawatir.[21] 

Sedangkan nalar yang menjadi konstruk ushul fikih Syiah adalah hukum-hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an, hadits dan konsesus mereka. Dan, dalam penentuan hukum ini kerap ditopang konsep-konsep teologi imâmah mereka.[22]  Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa seluruh bangunan ilmu-ilmu Syiah ini selalu diintervesi oleh urusan-urusan teologi mereka begitupun dengan fikih-fikih mereka yang notebene produk ushul fikih mereka.

Dari sini saya ingin mengatkan bahwa atas dasar inilah Ali Ahmad Salous ingin membendung laju proyek mendekatkan aliran-aliran dalam Islam, khususnya Syiah dan Sunni. Dan dari sini juga saya ingin mengatakan bahwa dalam penolakan tersebut tampak ada bias keberpihakannya kepada Sunni sebagai aliran teologi dalam Islam yang telah ia anut sejak kecil. Dan, bahkan, dalam penolakan itu, serta barometer yang dia gunakan dalam mengatakan kebenaran Sunni, barometer yang digunakan adalah barometer kebenaran Sunni.[23] 

Konsepsi Syarat dan Keniscayaan Kerukunan Syiah dan Sunni

Kenyataan perbedaan anggapan kebenaran dari dua pihak itu, Ali Ahmad Salous yang berambisi mengukuhkan kebenaran pola keberagamaan hanya di miliki Sunni dan para penggerak proyek mendekatkan (mengakurkan) aliran-aliran dalam Islam, membuat sejumlah pertanyaan yang saya ajukan di bagian prolong semakin rumit untuk dijawab. Karena bagaimana mungkin ada dua versi kebenaran yang ternyata saling memunggungi berasal dari satu muara, hidayah Tuhan. Hidayah Tuhan di sini saya jadikan sebagai patokan munculnya kebenaran-kebenaran di bumi, termasuk hasil olah pikir anak manusia. Terlebih ketika kebenaran ini pada gilirannya akan menentukan siapa di antara sekian banyak anak manusia yang bakal mendapatkan kebahagiaan tatkala mereka tak mempunyai kesempatan lagi untuk merubah pilihan pada apa yang harus diyakini; ketika beralih dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.

Bila dalam pokok pembahasan kedua kita diberi pemahaman bahwa pola menghargai keberagaman cara dalam memandang kebenaran, serta lumernya kekukuhan beberapa pihak dalam memandang kebenaran yang diakui sejak mulanya, untuk kemudian mewujudkan kerukunan antar aliran dalam Islam, khususnya Syiah dan Sunni, bila dalam pokok pembahasan selanjutnya kita disuguhi alasan-alasan pihak yang dengan tegas menolak kebenaran yang hendak dikukuhkan pada pembahasan sebelumnya, maka tugas kita selanjutnya adalah mengkonsep pola keberpihakan yang arif dalam beragama, yang mencakup pola pikir dan pandang. Saya katakan demikian  sebab adanya dua pola kebenaran yang telah kita bahas di atas nampak seperti bocah yang kejar-kejaran dengan temannya; yang satu hendak merangkul kebenaran yang lain, tapi yang lain itu malah lari menolaknya. Yang saya maksdukan dengan pola keberpihakan yang arif adalah bagaimana ketika seseorang telah menjatuhkan pilihannya untuk berpihak pada sauatu pola dalam beragama ia bisa menghargai keberpihakan yang lain pada yang lain. Pembentukan pola keberpihakan semacam ini saya anggap sangat penting sebab tatkalah seseorang menganggap bahwa pola keberpihakanya adalah yang paling benar, maka secara otomatis pola keberpihakan yang lain pada yang lain adalah salah.

Dihadapkan pada tugas semacam itu jujur saya teringat kisah perdebatan empat pemuda dalam satu mobil yang mengantar Wastiq Ghazi ke rumahnya—jadi jumlah orang dalam satu mobil enam orang dengan Watsiq Ghazi dan sopir. Cerita itu ada dalam bukunya Watsiq Ghazi yang berjudul al-Dîn wa Ihtikâru al-Haqîqah—dan akan saya ceritakan dengan varian yang saya buat sendiri. Dalam buku tersebut Watsiq Ghazi bercerita bahwa keempat pemuda itu memperdebatkan tentang tiga pembahasan; 1) kaya, boleh atau tidak? 2) para pemuka agama, apakah mereka sakral? 3) orang-orang Arab yang Islam, apakah mereka adalah sebaik-baiknya manusia?.

Dihadapkan pada tiga pertanyaan itu ketiga pemuda lainnyapun berbeda pendapat. Satu di antara mereka berkata bahwa menjadi kaya meruapakan kondisi yang diharamkan, bahkan keharamannya melebihi zina. Mendengar jawaban itu pemuda lainnya berteriak; Allahu Akbar! Semua menurutmu berhukum haram. Siapa yang berkata bahwa menjadi orang kaya itu haram? Sedangkan saya dalam kehidupan sehari-harinya adalah termasuk orang kaya. Sedangkan pemuda keempat, yang terakhir, berkata; mengapa kamu mengharamkan kondisi kaya? Mengapa kamu jadikan keharamannya melebihi keharaman zina? Apa hubungan antara kondisi kaya dengan zina? Dan, sopir ketika mendengan perkataan itu berkata; seandainya kaya itu dosa, dan dosanya melebihi dosanya zina, maka aku akan berzina setiap hari. Perdebatan antara mereka pun bertambah panas dengan masing-masing argument yang mereka keluarkan.

Di tengah perdebatan itu Watsiq Ghazi hanya diam menikmati. Setelah sampai depan rumahnya, dia melihat mereka sangat berharap mendengar pendapatnya. Dia sama sekali tidak ingin mencampuri perdebatan mereka. Dia hanya mengatakan; perdebatan kalaian sungguh menyenangkan saya, namun ada dua hal yang harus diperhatikan; 1) ketika kalian berdebat dan berbeda pendapat maka jangan membenci lawan debat kalian. 2) jangan pernah merasa bahwa diri kalian adalah yang paling benar. Tapi katakanlah, saya memiliki kebenaran dan mungkin orang lain juga memilikinya.[24] 

Entah, apakah dua point yang disampaikan Watsiq Ghazi kepada keempat pemuda itu dan sopir sudah diterapkan dalam menangani permasalahan-permasalahan keagamaan, seperti antara Syiah-Sunni-para penggerak proyek mendekatkan aliran-aliran dalam Islam, khususnya Syiah dan Sunni? Yang jelas, saya membenarkan apa yang disampaikan Watsiq Ghazi, dan berkeyakinan bahwa dengan bermodal dua point itu saya optimis kerukunan antara Syiah dan Sunni serta pola keberpihakan yang arif dalam beragama bisa terwujud

Epilog

Di bagian epilog ini saya hanya ingin mengatakan bahwa, pola hidup dan keberagamaan yang tidak rukun dan pola keberpihakan yang tidak arif dalam beragama hanya akan mencuatkan pemahaman bahwa, hidayah Tuhan dan syafaat Nabi Muhammad bersifat temporal dan lokalitatif. Dan, saya yakin bahwa ketika Tuhan mewartakan diri-Nya sebagai dzat maha Pemberi petunjuk, Tuhan tak sedang melakukan pencitraan untuk diri-Nya. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.

 Catatan Kaki

Harap diperhatikan! Beberapa informasi yang saya ambil dalam website tidak bisa diakses untuk sekarang ini karena alamat atau URL website dan kontennya sudah berubah. Adapun domain website tersebut tetap sama: alisalous.com.

[1] Ali Ahmad Salous, Ma’a al-Itsnâ ‘Asyariyyah fî al-Ushûl wa al-Furû’; Dirâsât Muqâranah fî al-‘Aqâ’id wa al-Tafsîr wa al-Hadîts wa al-Fîqh wa Ushûlihi, Dar al-Fadlilah Riyad, Maktabah Darul Qur’an Mesir, Dar al-Tsaqafah Qatar, cet. VII, 2006, jilid III, Hal. 738.

[2] http://www.alisalous.com/info.htm.

[3] Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Ali Ahmad Salous beraliran Wahabi, seperti yang diisyaratkan Syaikh Sa’id Muhammad Mamduh, seorang alim hadits berkebangsaan Mesir, ketika saya dengan seorang kawan berkesempatan sowan ke kediaman beliau. (Penambahan: pada tanggal 27 Februari 2013 untuk keperluan wawancara majalah Afkar PCINU Mesir).

[4] Ali Ahmad Salous, Op. Cit., Hal. 9-10.

[5] http://www.alisalous.com/info.htm.

[6] Ali Ahmad Salous, Op. Cit., bagian cover belakang.

[7] Al-Munadhamah al-Islamiyyah li al-Tarbiyyah wa al-Ulum wa al-Tsaqâfah, Istrâtîjiyyah al-Taqrîb bayna al-Madzâhib al-Islâmiyyah, Teheran, 2003, Hal. 2.

[8] Ali Ahmad Salous, Op. Cit., jilid I, Hal. 157-283, jilid II, Hal. 321-611, jilid III, Hal.616-870.

[9] Dalam iklim Syiah, buku ini dilarang beredar karena dinilai mengancam kemapanan otoritas keagamaan Syiah. Demikian itu dikarenakan buku ini mempunyai tujuan mendekonstruksi nalar-nalar keagamaan yang membersihkannya dari hal-hal yang bersifta takhayul yang dibuat oleh para pemegang otoritas religius Syiah. Terlebih bahwa banyak sekali ahli hadits Syiah, seperti al-Kulaini dan al-majlisi, telah mengkodifikasi semua riwayat dan hadits dari Ahli Bait tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu, ditambah bahwa para perawi yang mbalelo yang yang mengaku meriwyatkan hadits dari Ahli Bait. Selain itu, buku ini juga mengangkat pengakuan beberapa penggede Syiah tentang adanya hadits-hadits palsu dalam internal Syiah yang selama ini didiamkan, begitupun sebab-sebab pemalsuan hadits di kalangan Syiah tak luput dari analisa pengarangnya. Lihat, Ahmad Al-Qabanji, Tahdzîbu Ahâdîtsi al-Syî’ah, Tsaqafah Islamiyah Muashirah, Edisi PDF, Hal. 4-17.

[10] Abdullah bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumari al-Hasani yang Sunni, al-Fawâid al-Maqshûdah fî Bayâni al-Ahâdîts al-Syâdzah al-Mardûdah, Dar al-Imam al-Nawawi, Oman, Hal. 5.

[11] Al-Munadhamah al-Islamiyyah li al-Tarbiyyah wa al-Ulum wa al-Tsaqafah, Op. Cit., Hal. 18.

[12] Abdul Karim Soroush, al-Siyâsah wa al-Tadayyun, al-Intisyar al-Arabi, Beirut, cet. I, Hal. 229-233.

[13] Al-Munadhamah al-Islamiyyah li al-Tarbiyyah wa al-Ulum wa al-Tsaqafah, Op. Cit., Hal. 16.

[14] Ibid, Hal. 54-58.

[15] Fahmi Jaddane, Ususu al-Taqaddum ‘inda Mufakkiri al-Islâm fî al-Âlam al-‘Arabi al-Hadîts, al-Sabakah al-Arabiah li al-Abhats wa al-Nasyr, Beirut, cet. IV, 2010, Hal.194-195.

[16] Ahmad Abdurrahman, al-Syî’ah wa al-Sunnah; Dirâsât Muqâranah, Maktabah Wahbah, Kairo, cet. II, 2010, Hal. 325.

[17] Ibid, Hal. 327-330.

[18] Ali Ahmad Salous, Op.Cit., jidil I, Hal. 20-306.

[19] Ibid, jilid II, Hal. 321-611.

[20] Ibid, jilid III, Hal. 616-870.

[21] Ibid, jilid IV, Hal. 886, 888.

[22] Ibid, Hal. 891-895.

[23] Ibid, jilid I, Hal. 21.

[24] Watsiq Ghazi, al-Dîn wa Ihtikâru al-Haqîqah, al-Instisyar al-Arabi, Beirut, cet. I, 2009, Hal. 111-113.

DONASI VIA PAYPAL Jika artikel ini bermanfaat dan Anda berkenan membantu kami mengembangkan website ini dengan memberi sedikit donasi, Anda bisa melakukannya via Paypal. Terima kasih.
Posting Komentar

Posting Komentar